Penyuluhan Waspada Bahan Kimia Obat (BKO) dalam Obat Tradisional pada Masyarakat di Pasar Pringgabaya Lombok Timur

Baiq Leny Nopitasari, Sintha Puspitasari, Muhammad Faisal, Eriyona Azizun Rosyida, Dzun Haryadi Ittiqo

Abstract


The high consumption of traditional medicine or "jamu" in communities, especially in rural areas, has the potential to cause health problems due to many unsafe products containing Pharmaceutical Chemicals (BKO - Bahan Kimia Obat). A preliminary survey at Pringgabaya Market of 20 traders showed that 85% of respondents (17 people) still consume packaged jamu, with 35% of them consuming it frequently. This community service program aimed to increase public understanding of the dangers of BKO in jamu and the characteristics of safe products. The methods used included direct socialization in the form of a seminar, complemented by the distribution of brochures, a pre-test questionnaire to identify consumption habits, and an interactive Q&A session. The results showed that participants were able to coherently explain the material, including recognizing types of hazardous BKO (such as Dexamethasone, Paracetamol) and their side effects. In conclusion, this socialization successfully increased public awareness. For sustainability, it is recommended that similar education be conducted regularly by the Community Health Center (Puskesmas) or the Village Government, and the public should be encouraged to be more critical by always checking for the BPOM distribution permit on jamu packaging.

Keyword: Pharmaceutical chemicals; traditional medicine; community health; education public awareness; product regulation compliance


Abstrak

Tingginya konsumsi obat tradisional (OT) atau jamu di masyarakat, khususnya di daerah pedesaan, berpotensi menimbulkan masalah kesehatan karena banyak produk yang tidak aman dan mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Survei awal di Pasar Pringgabaya terhadap 20 pedagang menunjukkan bahwa 85% responden (17 orang) masih mengonsumsi jamu sachet, dengan 35% di antaranya melakukannya secara sering. Pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya BKO dalam jamu serta ciri-ciri produk yang aman. Metode yang digunakan meliputi sosialisasi langsung berbentuk seminar, dilengkapi dengan pembagian brosur, pre-test kuesioner untuk mengidentifikasi kebiasaan konsumsi, dan sesi tanya jawab interaktif. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa peserta mampu menjelaskan kembali materi dengan runtut, termasuk mengenali jenis-jenis BKO berbahaya (seperti Deksametason, Parasetamol) dan efek sampingnya. Kesimpulannya, sosialisasi ini berhasil meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Untuk keberlanjutan, disarankan agar edukasi serupa dilakukan secara berkala oleh Puskesmas atau Pemerintah Desa, serta mendorong masyarakat untuk lebih kritis dengan selalu memeriksa izin edar BPOM pada kemasan jamu.

 

Kutip (Cite) artikel ini: BibTeX | EndNote/Zotero/Medelay (RIS) | MLA/APA/Chicago/Harvard/Vancouver

Sejarah artikel: Dikirim: 30, Oktober 2025 Revisi: 30, Oktober 2025 Diterima: 31, Oktober 2025

Full PDF artikel:  Download


Pendahuluan

Obat tradisional (OT) telah dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan perawatan kesehatan. Ramuan obat tradisional Indonesia dapat berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral, namun umumnya yang digunakan berasal dari tumbuhan (Kemenkes, 2017). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 persentase penduduk Indonesia yang pernah mengonsumsi jamu sebanyak 59,12 % yang terdapat pada kelompok umur di atas 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, di pedesaan maupun di perkotaan, dan 95,60 % merasakan manfaatnya (Kemenkes, 2013). Menurut klaimnya OT terbagi menjadi 3 jenis antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu merupakan salah satu OT yang lebih disukai karena harganya lebih murah dan terjangkau (Kemenkes, 2017). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan dari 30,4% rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional, 44,9% diantaranya menggunakan ramuan termasuk diantaranya jamu untuk menjaga kebugaran (Kemenkes, 2013). Keamanan produk OT menjadi salah satu masalah dalam perkembangan penggunaan OT di masyarakat Indonesia. Banyaknya produk herbal berupa jamu kemasan yang dicampur dengan Bahan Kimia Obat (BKO) menyebabkan produk jamu kemasan sulit untuk bersaing di dunia industri OT. Maraknya peredaran jamu BKO memang sulit dihindari seiring dengan kesadaran masyarakat atau konsumen yang mengharapkan (Salim & Munadi, 2017). Hasil yang cepat dalam mengatasi masalah kesehatanya. Contohnya produk pereda nyeri yang memberikan efek cepat akan lebih laris di pasaran karena dianggap lebih manjur dan efektif. Padahal harusnya hal ini patut dicurigai, sebab OT memiliki efek yang cenderung lebih lama dibandingkan obat kimia sintetis. Berdasarkan hasil pengawasan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) pada bulan November 2013 sampai dengan Agustus 2014 ditemukan sebanyak 51 jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Dari temuan tersebut, BKO yang teridentifikasi dicampur dalam jamu didominasi oleh obat penghilang rasa sakit dan obat rematik seperti parasetamol dan fenilbutason, serta obat penambah stamina/afrodisiaka seperti sildenafil (Bpom, 2016). Studi Wirastuti et al, melaporkan dalam studinya bahwa terdapat satu jenis dari lima jamu rematik kemasan yang diidentifikasi positif mengandung prednison dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (Wirastuti et al., 2016). Hasil laporan nasional oleh POM pada tahun 2016, menyatakan bahwa sebanyak 12,76% sarana distribusi menyalurkan obat tradisional (OT) mengandung BKO (Bpom, 2017). Kondisi ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam pelestarian penggunaan OT di kalangan masyarakat.

Penggunaan OT sebagai pilihan upaya kesehatan didasari oleh presepsi masyarakat terhadap obat tradisional adalah karena lebih aman dan minimal efek samping (Nasution, 2014). Sayangnya belum banyak masyarakat memahami cara pemilihan dan penggunaan OT yang benar. Sesuai peraturan perundangan- undangan obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang dilindungi (Bpom, 2017). Hal ini menjadi salah satu persyaratan suatu produk OT guna menjamin kemanan dan efektivitasnya (Bpom, 2019).

Penggunaan BKO pada jamu dapat menyebabkan timbulnya masalah kesahatan. Pasalnya BKO yang ditambahkan pada OT tidak diketahui dosis dan takaranya sehingga risiko efek samping dari BKO tersebut dapat meningkat bahkan bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh dalam penggunaan jangka panjang. Beberapa efek berbahaya dari penggunaan BKO ini diantaranya adalah tukak lambung (penggunaan obat analgetik), reaksi alergi, hipertensi, diabetes, kerusakan hati dan ginjal. Belum lagi seseorang memiliki penyakit tertentu ternyata memiliki kontraindikasi dengan bahan kimia obat pada jamu tersebut. Resiko akan meningkat seiring tingginya frekuensi konsumsi produk yang mengandung BKO tersebut (AN, 2022). BPOM RI terus melakukan pengawasan terhadap peredaran obat-obat tradisional guna menjamin produk OT aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. OT yang mengandung BKO hanya dapat diketahui setelah dilakukan pemeriksaan analisis kandungan BKO secara kualitatif. Kegiatan sosialiasasi oleh POM telah banyak dilakukan ke berbagai stakeholder meliputi perguruan tinggi farmasi, ikatan apoteker indonesia, puskesmas, dan instansi profesi lain (Nasution, 2014).

Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengetahui kemanan OT yang dikonsumi menjadi masalah kesehatan dimasa yang akan datang. Edukasi konsumen serta pengetahuan akan produk herbal tradisonal masih sangat dibutuhkan oleh konsumen. Pentingnya memilih jamu/obat tradisional yang aman dan untuk tidak mudah percaya dengan iklan-iklan yang beredar sehingga masyarakat dapat terhindar dari bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) yang sering dicampurkan dalam obat tradisional untuk memperoleh efek yang singkat (Nasution, 2014). Pemberian edukasi tentang waspada penting dilakukan kepada masyarakat luas agar terciptanya pengetahuan dan perilaku masyarakat yang baik dalam mengkonsumsi jamu sebagai alternatif pengobatan guna meningkatkan nilai kesehatan masyarakat luas dan mencegah timbulnya penyakit berbahaya dimasa yang akan datang.

Desa Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur merupakan desa dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan pedagang. Risiko pekerjaan berat memiliki kemungkinan untuk mengalami timbulnya gangguan nyeri pada bagian tubuh tertentu mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi jamu pegel linu atau untuk kebugaran. Sosialiasi ini ditujukan kepada masyarakat agar mengetahui cara memilih dan menggunakan obat tradisional yang tepat dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya dan ciri-ciri BKO sebagai upaya peningkatan kualitas kesehatan, dimana pada Desa Pringgabaya masih sangat jarang dilakukan sosialisasi mengenai BKO.

 

Metode Pelaksanaan

Kegiatan sosialisasi waspada bahaya Bahan   Kimia   Obat   (BKO) dalam OT oleh tim ini dilaksanakan pada tanggal   24   Februari 2024 pukul 07.00-09.00 WITA, berlokasi  di Pasar Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan adalah dengan pemaparan materi berupa presentasi yang   diikuti   oleh   peserta   sebanyak   20 orang pedangan di Pasar Pringgabaya. Kerangka pemecahan masalah   dari   kegiatan   ini   dirumuskan sebagai berikut:

  1. Tahap pertama dimulai dengan melakukan  perizinan  kepada  pihak Pasar Pringgabaya.
  2. Tahap kedua, tim membuat poster, dan materi presentasi tentang  bahaya BKO yang terdiri   atas   (a)   Penggolongan   Obat Tradisional; (b)  Peredaran  Jamu  yang Ditemukan  BPOM  Mengandung  BKO; (c)  Pengertian  BKO;  (d)  Macam  BKO dan  Efek  Samping;  (e)  Ciri  Jamu  yang Mengandung  BKO;  (f) Cara  Memilih Jamu   yang   Aman, video   pembuatan jamu    tradisional,    dan    materi    cara registrasi obat tradisional ke BPOM.
  3. Tahap  terakhir  adalah  pelaksanaan yaitu,    pemaparan    materi,    demonstrasi.

 

Hasil dan Pembahasan Kegiatan

Sosialisasi dengan teknik seminar yang dikemas dalam bentuk penyampaian secara langsung pada Masyarakat Desa Pringgabaya, hal ini dipilih oleh Tim sebagai langkah untuk memberikan pengetahuan secara langsung kepada masyarakat sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.006/Menkes/Per/V/2012 (Kemenskes, 2012). yang menyatakan bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung BKO. Sosialisasi ini disampaikan atas dasar masih banyaknya masyarakat khususnya didaerah desa yang mengkonsumsi obat-obatan tradisional atau yang biasa disebut dengan jamu tanpa melihat komposisi didalamnya, hanya   mengingankan efek secara   instan tanpa memikirkan bahaya untuk kesehatanjangka panjang.

Kegiatan awal yang dilakukan adalah membagikan kuesioner yang ditujukan kepada guna mengetahui seberapa sering sampai saat ini masyarakat mengkonsumsi obat-obatan tradisional   dalam   bentuk sachet (sekali seduh) yang   dijual   dipasaran tersebut. Sampel yang digunakan sebanyak 20 orang pedangan di Pasar Pringgabaya. Hasil dari pengisian kuisioner adalah sebagai berikut:

Berdasarkan pada hasil Tabel 1 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 50% masyarakat masih sesekali mengkonsumsi obat-obatan tradisional sachet yang beredar dipasaran. Obat tradisional yang masih sering dikonsumsi masyarakat adalah jamu pegal linu, dan kunir asem. Pemateri dalam kegiatan ini memparkan materi bahwa masih terdapat banyak obat-obatan tradisional atau jamu yang beredar di pasaran yang mengandung BKO. Pemaparan materi diperkuat dengan macam-macam BKO yangsering ditambahkan dan efek sampingnya bagi Kesehatan jika dikonsumsi terus menerus seperti:

  1. Deksametason, sebagai anti inflamasi dengan   efek   samping   moon   face, peptic ulcer, hipertensi,dan hiperglikemi
  2. Allopurinol, sebagai obat gout dengan efek sampingmual, muntah, dan ruam
  3. Parasetamol, sebagai analgesik antipiretik dengan     efek samping kerusakan hati
  4. Natrium dikofenak, sebagai analgesik, antiinflamasi   dengan   efek   sampingpendarahan    saluran    cerna, kejang, mual, dan muntah
  5. Fenilbutazon, mengatasi nyeri peradangan  rematik, dan gout dengan efek samping gagal ginjal.

Kegiatan akhir yang dilakukan adalah sesi tanya jawab dengan masyarakat, pemberian pertanyaan kepada masyarakat     seberapa paham tentang materi yang dijelaskan oleh pemateri    dengan    rata-rata    masyarakat dapat menjelaskan secara runtut kembali tentang materi bahaya BKO dalam jamu. Pemaparan materi yang disampaikan dapat dipahami bahwa bahaya pencampuran obat kimia tanpa aturan atau dosis yang tepat dalam produk jamu sangat berbahaya. Efek jamu    yang    seharusnya    terjadi    secara perlahan dalam jangka waktu panjang, jika efeknya    terlalu    instan    dapat    dicurigai mengandung BKO.  Mayarakat harus bijak dalam memilih obat tradisional atau jamu yang   beredar   dipasaran.   Memilih   obat tradisional yang sudah memiliki ijin edar dari BPOM (Gambar 1).

Kegiatan sosialisasi bahan kimia obat memberikan kontribusi positif terhadap mitra dengan memperkuat kapasitas mereka dalam menangani isu kesehatan di masyarakat. Mitra seperti institusi pendidikan, mendapatkan manfaat berupa peningkatan pemahaman dan keterampilan dalam menyampaikan informasi kesehatan secara efektif. Selain itu, kegiatan ini juga dapat memperkuat kolaborasi antarmitra, menciptakan jaringan kerja yang lebih solid untuk mendukung program kesehatan lainnya di masa depan. Beberapa studi menunjukkan bahwa keterlibatan aktif mitra dalam kegiatan sosialisasi meningkatkan efisiensi pelaksanaan program sekaligus memperluas dampak positifnya pada masyarakat.

Peningkatan pengetahuan tentang pentingnya mengenal bahan kimia obat di masyarakat memiliki peran yang sangat krusial dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan secara umum. Pemahaman yang lebih baik mengenai bahan kimia obat tidak hanya memberikan manfaat bagi individu dalam hal pengelolaan kesehatan, tetapi juga dapat membantu mencegah penyalahgunaan obat dan memperkuat kepatuhan terhadap pengobatan yang tepat. Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor penting dalam kesuksesan terapi medis. Pengetahuan tentang bahan kimia obat, termasuk cara kerja obat, dosis yang tepat, dan potensi efek samping, dapat meningkatkan pemahaman pasien tentang pentingnya mengikuti instruksi yang diberikan oleh tenaga medis. Hal ini juga mengurangi kemungkinan pasien untuk menghentikan pengobatan secara sepihak atau mengurangi dosis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, yang dapat mengarah pada kegagalan terapi atau pengembangan resistensi obat.

Simpulan dan Saran Kegiatan

Simpulan

Berdasarkan pelaksanaan kegiatan, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Tingkat Konsumsi: Sebagian besar masyarakat (85%) di lokasi pengabdian masih mengonsumsi jamu sachet yang berpotensi mengandung BKO, dengan 35% di antaranya mengonsumsinya secara sering.
  2. Efektivitas Kegiatan: Metode sosialisasi langsung efektif dalam meningkatkan pemahaman masyarakat, yang terlihat dari antusiasme diskusi dan kemampuan peserta menjawab pertanyaan inti mengenai bahaya BKO dan contohnya (seperti Deksametason dan Parasetamol).
  3. Perubahan Sikap: Terjadi pergeseran paradigma peserta dari sekadar mencari efek instan menjadi lebih kritis dengan memeriksa izin edar BPOM sebagai langkah praktis memilih jamu yang aman.

Saran

Berdasarkan temuan dan refleksi selama kegiatan, berikut adalah saran yang dapat diberikan:

  1. Bagi Pemerintah Desa dan Puskesmas: Disarankan untuk menjadikan materi bahaya BKO dalam jamu sebagai program edukasi kesehatan masyarakat (prokesmas) yang berkelanjutan, misalnya dengan memasukkan materi ini dalam kegiatan posyandu atau pertemuan rutin warga. Melakukan pemantauan dan pembinaan secara berkala kepada pedagang jamu dan UMKM jamu di pasar tradisional untuk memastikan produk yang dijual bebas dari BKO.
  2. Bagi Masyarakat: Masyarakat disarankan tidak hanya selektif dengan memeriksa izin edar BPOM, tetapi juga melaporkan kepada pihak berwenang (BPOM/ Puskesmas) jika menemukan jamu yang dicurigai mengandung BKO, misalnya yang memberikan efek instan dan tidak wajar. Kelompok PKK atau karang taruna dapat didorong untuk mengembangkan usaha jamu tradisional yang aman dan higienis (misalnya dalam bentuk bubuk atau kemasan sederhana) sebagai alternatif jamu sachet yang tidak jelas.



Full Text:

PDF

References


AN, M. (2022). Buku Ajar Obat Tradisional. CV. Mitra Edukasi Negeri.

Bpom, R. I. (2016). Waspada Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat Teliti Sebelum Membeli Dan Mengonsumsi.

Bpom, R. I. (2017). Laporan Tahunan Badan POM 2017.

Bpom, R. I. (2019). Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 32 Tahun 2019 Tentang Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat Tradisional Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013.

Kemenkes. (2017). Formularium Ramuan Obat Tradisional Indonesia Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenskes. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan Usaha Obat Tradisional Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Nasution, Z. (2014). Herbal Medicine Perception And Practice Among Childbearing Mother With Medical Education Background In Bandung: A Preliminary Study. Traditional Medicine Journal, 19(2), 75-82.

Salim, Z., & Munadi, E. (2017). Info Komoditi Tanaman Obat. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 13(1), 50-59.

Wirastuti, A., Dahlia, A. A., & Najib, A. (2016). Pemeriksaan Kandungan Bahan Kimia Obat (Bko) Prednison Pada Beberapa Sediaan Jamu Rematik. Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 3(1).




DOI: https://doi.org/10.31764/lpk.v2i4.36096

Refbacks

  • There are currently no refbacks.